Jakarta,ruangenergi.com–Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menyampaikan poin-poin pokok tanggapan terjadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
DPD RI memberikan apresiasi kepada Komisi VII DPR RI yang telah mengundang DPD RI dalam forum yang terhormat ini dalam rangka pembahasan RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
“Terselenggaranya forum rapat Tripartit ini dalam pembahasan sebuah RUU merupakan niat baik 3 (tiga) lembaga; DPR, Pemerintah, dan DPD untuk melaksanakan amanah Konstitusi khususnya pada Pasal 22D,” kata Ketua Komite II, Yorrys Raweyai (Dapil Papua) saat di Komisi VII DPR RI Rapat Kerja dengan Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri LHK, Mendikbud Ristek, Menteri BUMN, Menteri Hukum dan HAM, Pimpinan Komite II DPD, acara Pengantar Musyawarah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), Selasa, 29 November 2022.
Yorrys membacakan poin-poin pokok tanggapan DPD RI terhadap RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) sebagai berikut:
- Usulan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET) memiliki semangat yang sama dalam pembahasan tentang energi terbarukan yang pernah dibahas oleh DPD RI sebelumnya pada tahun 2017. Pada usulan (RUU ET) yang dimaksud, secara mendasar DPD RI berpendapat bahwa pengelompokkan sumber daya energi secara literatur terbagi dalam dua kelompok besar yaitu sumber daya energi yang “terbarukan” dan sumber daya energi yang “tak terbarukan”. Oleh karenanya, secara internasional tidak dikenal istilah “sumber energi baru” yang selama ini dimasukkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. DPD RI berpandangan dan berpendapat bahwa konsep “energi baru” yang diusung di dalam RUU EB-ET perlu dihapus dan dikeluarkan konteksnya dari “energi terbarukan”, selain karena tidak sesuai dengan literatur yang ada, juga karena konteks penerapannya di dalam RUU EB-ET menjadi tidak sejalan lagi dengan semangat pengarusutamaan pemanfaatan “energi terbarukan”. Atas dasar itu, dalam naskah sandingan atas RUU EB-ET yang telah disusun oleh DPD RI, usulan perubahan mendasar ada pada “penghapusan” klausul “Energi Baru” beserta turunan substansi pengaturan yang ada dalam RUU EB-ET.
- DPD RI mendukung pembahasan lebih lanjut tentang Energi Terbarukan, utamanya terkait beberapa perubahan atas usulan ketentuan dalam RUU EB-ET sebagai bentuk dari komitmen Indonesia secara global dalam penurunan emisi karbon, termasuk di antaranya pencapaian target Net-Zero Emission pada tahun 2060. Pembahasan atas RUU EB-ET harus tetap mengedepankan ketepatgunaan dari norma-norma yang diatur di dalamnya untuk mengarusutamakan pemanfaatan atas sumber energi terbarukan yang potensinya cukup melimpah di Indonesia.
- DPD RI memandang bahwa konsep transisi energi merupakan isu permasalahan yang sangat mendasar dan wajib untuk diberikan perhatian lebih. Namun demikian, sebagai isu mendasar, DPD RI berpendapat bahwa selain disinggung dalam RUU EB-ET ini, ketentuan tentang “transisi energi” sebaiknya diatur secara lebih menyeluruh dan integral di dalam peraturan generik tentang energi. Dalam hal ini, DPD RI telah mengajukan usul inisiatif RUU Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, dimana isu tentang “Transisi Energi” telah dinormakan secara komprehensif di dalamnya.
- DPD RI memberikan penegasan terkait RUU EB-ET ini, yakni konteks penggunaan teknologi baru semestinya juga diarusutamakan pada pemanfaatan energi terbarukan. Sementara di dalam RUU EB-ET, konsep ini nampak tidak diberikan penekanan lebih. Sebagai contoh, nuklir sejatinya tidak termasuk pada konsep pemanfaatan energi dengan teknologi baru, karena pada dasarnya teknologi nuklir sudah dikembangkan dan diterapkan sudah cukup lama. Demikian halnya dengan “coal gasification” yang masuk dalam kategori energi baru, kurang tepat, karena “gasifikasi batubara” sudah ada dan diterapkan sejak abad XIX, serta sudah dituangkan pengaturannya di dalam UU Minerba.
- Mendasarkan pada poin 4 (empat) tersebut, DPD RI berpendapat bahwa beberapa konsep perubahan, termasuk mengenai inovasi dalam pemanfaatan teknologi dalam pemanfaatan energi nuklir, batubara, gas bumi, maupun sumber energi lainnya, semestinya masuk pada agenda perubahan atas UU terkait, seperti misalnya pada perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan seterusnya.
- DPD RI mendukung usulan kelembagaan dalam mendukung pelaksanaan transisi energi. Dalam hal pemanfaatan energi terbarukan ini, DPD RI memandang perlunya membentuk kelembagaan baru dalam pemanfaatan energi terbarukan (dan dana yang dihasilkan). Untuk menghindari kekhawatiran akan terlalu banyaknya kelembagaan yang saat ini sudah ada, maka dapat disesuaikan sebagai konsep simplifikasi atas badan yang saat ini telah ada namun masih memungkinkan perubahan atau penambahan kewenangan, seperti Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Jika dimungkinkan lahirnya kelembagaan baru, maka yang perlu ditambahkan dalam RUU EB-ET ini adalah Badan Pengelola Energi Terbarukan.
“Demikian Pandangan awal dari DPD yang kami sampaikan pada forum yang terhormat ini, sebagai awal pembahasan secara Tripartit terhadap RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).Sebelum kami akhiri, kami menegaskan komitmen penuh untuk terlibat dalam pembahasan secara tripatrit dalam rapat-rapat panja atas RUU ini bersama DPR RI dan Pemerintah. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa RUU ini sangat signifikan. Oleh karena itu, DPD RI menaruh perhatian yang sangat serius dan telah menyiapkan DIM secara komprehensif,” tegas Yorrys.Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, pokok pikiran RUU EBET